Gulah Rasa
- Duta Krisna
- 16 Des 2019
- 4 menit membaca
Selembar Saksi
“Suatu ketidak adilan telah tercipta, ketika aku harus memilih berada diantara mereka yang sangat ku cintai atau karir. Betapa bodohnya karir ini sehingga aku harus berjalan meninggalkan mereka dan menginjak-injak perasaanku hanya untuk sebuah nama, uang, dan iming-iming masa depan.”
Ketika baling-baling itu mulai berputar, suara mesin itu memenuhi ruang di telingaku, akupun melihat kearah jendela dan mulai menitikkan air mata. Mereka mengalir begitu hangat, membasahi selembar foto yang aku genggam erat di tanganku. Aku merasa sekawanan awan itu berjalan bergerak meninggalkanku, terbawa angin dan tidak menoleh kebelakang memperhatikanku bersedih. Sampaiku di titik ini membuatku yakin, betapa rapuhnya aku yang harus berjalan sendiri. Kini mereka tak lagi menyertaiku di setiap langkah kakiku yang telanjang tak beralas.
Kembali teringat saat menit-menit akhir aku memeluk erat gadis kecil berambut keriting itu. Seakan ia serahkan pilunya padaku, “kakak jadi pergi kuliah di Jakarta, sekarang siapa dong yang anter adik mandi-mandi di pantai lagi kak?” Sungguh, kini aku berpikir bahwa aku kesal dengan-Nya, kenapa Ia harus ciptakan suatu rasa yang dapat merobek insaniku dengan begitu dalam? Sungguh ini semua tidak adil.
Memalingkan wajah dengan tujuan untuk membangkitkan kembali semangatku, namun justru mengundang beban sakit yang lebih dalam. Ketika aku harus berhadapan dengan pandangan yang berkaca-kaca, suatu kasih sayang yang sebenarnya, yang sedari awal perjuanganku hingga saat ini menemani perjalananku menuju pintu kesuksesanku. Wanita itu tetap tersenyum gembira, tutur lega wajah yang melepas rasa lelah seolah melihat putranya sudah memiliki masa depan yang lebih dari sekadar tukang pijat berbalur minyak wangi sepertinya.
Namun sebenarnya bukan kedua hal tersebut yang membuatku meneteskan air mata hingga berlarut dalam seduku. Ketidakhadiran laki-laki pemikul tanggung jawab itu, yang lebih memilih pergi mencari pundi-pundi rupiah di hari terakhirku yang seharusnya tidak dapat melihatnya lagi disetiap malamku. Ia lebih memilih melebamkan bahunya, menandu keranjang-keranjang yang penuh berisi pakaian tamu-tamu hotel itu. Kini batinku terkoyak, patahnya semangat awali perjalananku ke tanah ibu kota yang disesaki mimpi dan harapan.
Entah harus kita telisik dari aral yang mana, semua kisah ini tetaplah menjadi sebuah kisah utuh. Sebuah perjalanan singkat yang penuh perseteruan antara ayah dan putranya, dan dipenghujung bulan juni kisah itu dimulai.
***
Perkenalkan, namaku duta. Semua cerita ini adalah penggalan kisah hidupku dalam berproses menuju jenjang perkuliahan. Mulai dari adik yang sangat ku rindukan, mama yang begitu kuat dan tegar, dan ayah yang hanyalah seorang ayah yang kusebut dengan panggilan bapak. Kejenuhanku akan rutinitas selalu menjadi polemik dalam hidupku. Gelagapan ketika bangun ditambah dengan sedikit emosi jiwa selalu menemani disetiap pagiku, karena harus selalu siap sedia menyantap isi buku untuk tes masuk kuliahku. Seperti pagi itu, pagi yang benar-benar menjengkelkan.
Pagi itu aku terbangun dari lelap singkatku. Sorot lampu menerawang dari bilah gorden yang tersibak menutupi jendela. Aku masih belum bisa melawan rasa kantuk yang menguasaiku, tapi saat itu juga gerutu ayah memaksaku untuk bangun dan tak dapat aku hindari. Betapa aku kesal pagi itu, harus terbangun dengan keadaan yang sangat lelah.
Bergegas aku mandi dan langsung mengambil sarapan. Sambil menyimak beberapa video yang disediakan oleh daring youtube. Berselang lima belas menit, suara itu datang padaku lagi dan membuatku merasa masih sangat bodoh.
“Tidur, main hp, nonton TV. Nanti kalau ndak lulus nyari kuliah, bapak beliin mobil habis itu jadi supir grab yaa, oh atau bantu bapak berkebun nanti di kampung yaa, mau? kan bagus.” Kata bapak.
“Duta semalam sampai begadang lagi loh belajarnya pak, kenapa harus marah-marah gitu? bapak ndak pernah liat duta belajar.” Sahutku geram.
“Buktinya bapak sama mama di rumah aja duta ndak pernah pegang buku, hp-nya aja yang di pelototin.” Jawab ayahku dengan nada meninggi.
“yaa ini kan lagi istirahat, capek belajar terus pak.”
“ndak ada belajar duta, bapak sudah tanya bibi made, katanya duta tidur semalam, bukunya dijadikan alas kepala saja.”
Lalu aku memilih untuk pergi dari keributan itu untuk sejenak menenangkan diri. Tak ingin rasanya aku lanjut berjuang mempelajari ilmu dari buku-buku itu. tapi yang hal yang selalu aku ingat, buku-buku itu tidak dapat membalik diri mereka sendiri.
Ditengah kesalku, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ia ribut karena banyaknya pesan yang masuk. Dengan tak sadar, tanganku langsung meraih dan membuka pesan-pesan yang masuk ke ponselku. Dan kini aku benar-benar terkejut, puluhan pesan secara tiba-tiba masuk dan dengan nada pesan yang sama, “selamat ya taa, kamu lolos SNMPTN.” Aku merasa sangat bersyukur dan senang akan kabar itu. Namun aku tak serta-merta mempercayainya, lalu aku bergegas memeriksa kebenaran berita itu. Ternyata benar, namaku menjadi salah satu dari ribuan mahasiswa yang masuk perguruan tinggi negeri lewat jalur undangan, yang artinya tidak harus repot-repot belajar untuk mendapat tiket masuk kuliah.
“AAAAAAAAA..!!!!!!!!!!!!!!!! LULUS SNMPTN, HIDUP TENANG YEEEYYYYYY!!!” teriakku sambil berlari mengelilingi rumah.
Ibu, serta bibiku ikut senang atas kabar gembira itu. Mereka langsung berusaha merayakannya dengan menawarkanku makanan kesukaanku. Adikku yang mendengar kata makanan langsung bersorak gembira dan langsung mengajak untuk pergi ke restaurant.
Entah dimulai dari siapa, namun kabar gembiraku lantas menjadi topik hangat di kalangan tetangga, berita mengalir begitu cepat dari mulut ke mulut. Tak sampai setengah hari, bahkan sepertinya dunia sudah mengetahui tentang kemenanganku di hari itu.
Dering gawaiku tak berhenti berdenting. Kawan-kawan yang mengenalku tak kunjung lelah memberi selamat dan memandangi hasil dari keberhasilanku memerangi jalan menuju pintu gerbang mimpi kecilku.
Sore itu, ketika matahari bersinar jingga, udara yang berhembus tenang menerpa diriku yang sedang duduk diatas pos kamling. Aku merasa semua orang dapat dengan mudah memahami kebahagiaan yang aku rasakan. kepada mereka aku hanya bisa berbagi melalui senyuman. Jelang kepergianku ke tanah rantau, aku merasa itu adalah saat-saat terakhir aku bisa menikmati secangkir kopi buatan ibu disertai pisang goreng dengan kepulan asap tipis diatasnya.
Aku tak ingin saat-saat itu tergantikan. mahalnya pemandangan sekitar rumah yang takkan lagi dapat kubeli di perantauanku kelak. Ponsel yang tak kunjung diam itupun aku taruh didalam rumah, agar konsentrasiku menikmati sore di tanah tandus depan rumah diwaktu itu bisa kunikmati secara penuh.
Sayup-sayup dari kejauhan terdengar gemerincing besi tua yang berjalan menuju tempatku terdiam dengan suara klakson yang sengak, ciri khas sepeda motor tua milik bapak, dengan segera bergegas datang menghampiri diriku yang terlihat nampak tenang di penghujung jalan.
“kenapa diam di luar? Santai sekali. Bukannya belajar, malah ngopi sambil main hp lagi.” Tanya ayah.
“hahaha.. santai pak santai, ayo kita bicarain di rumah saja” sahutku santai.
Semua hal yang tergambar dibenakku kini terlihat begitu nyata dengan gelak tawa yang begitu sumringah dari kedua orang tuaku. Mereka begitu antusias menyambut keberhasilanku. Adikku yang tidak mengerti apa itu kuliah, bahkan ikut merasakan kegembiraan yang kami rasakan.
Malam itu menjadi malam terindah sepanjang hidupku, yang mampu memberi rasa bahagia yang begitu nyata untuk kami rasakan kembali.
“Ayah, kau tidak akan pernah mengerti arti dari perjuangan anakmu ini, karena kau tengah sibuk dengan duniamu.”
Bersambung...



Komentar